mario teguh

Selasa, 21 Desember 2010

Keindahan hidup kita di akhirat nanti,
dibangun oleh keindahan hidup kita di dunia,

karena kita hidup untukTuhan,

sehingga kita menjaga kejernihan pikiran,
memelihara kebeningan hati,
dan menetapkan keindahan perilaku kita,

agar kita menjadi pribadi
yang bermanfaat bagi sesama,

yang memelihara kelestarian alam,

agar kematian kita
menjadi gerbang memasuki rumah kita di surga,
yang abadi kebahagiaannya.

6 pertanyaan

Kamis, 16 Desember 2010

Suatu hari Seorang Guru berkumpul dengan murid-muridnya...
Lalu beliau mengajukan enam pertanyaan...

Pertama...
"Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini...???"
Murid-muridnya ada yang menjawab... "orang tua", "guru", "teman", dan "kerabatnya"...
Sang Guru menjelaskan semua jawaban itu benar...
Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "kematian"... Sebab kematian adalah PASTI adanya.....

Lalu Sang Guru meneruskan pertanyaan kedua...
"Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini...???"
Murid-muridnya ada yang menjawab..."negara Cina", "bulan", "matahari", dan "bintang-bintang"...
Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa semua jawaban yang diberikan adalah
benar... Tapi yang paling benar adalah "masa lalu"...
Siapa pun kita... bagaimana pun kita...dan betapa kayanya kita... tetap kita TIDAK bisa kembali ke masa lalu... Sebab itu kita harus menjaga hari ini... dan hari-hari yang akan datang..

Sang Guru meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga...
"Apa yang paling besar di dunia ini...???"
Murid-muridnya ada yang menjawab "gunung", "bumi", dan "matahari"...

Semua jawaban itu benar kata Sang Guru ...
Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "nafsu"...
Banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya... Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu... Karena itu, kita harus hati-hati dengan hawa nafsu ini... jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka (atau kesengsaraan dunia dan akhirat)...

***Di Penghujung Rindu,,,Kita Bertemu ***

Selasa, 14 Desember 2010

Harus jujur kuakui, sulit bagiku tuk definisikan kata rindu. Namun kuserahkan saja jemariku menari untuk menyulam beberapa kalimat agar mengungkapkan apa yang kuketahui tentang rindu itu sendiri.

Siapapun berhak memberikan pandangan tentang rindu. Aku berpikir, kata rindu itu sendiri bersifat umum. Dan akan benar-benar bermakna serta bersifat khusus sekiranya disertai obyek yang dirindu. Obyek tersebut bisa nyata ataupun abstrak tergantung subyek atau sosok yang sedang merindu.

Tak salah pula sekiranya kututurkan bahwa rindu adalah sebuah kata kerja bagi hati. Ia bukanlah kata kerja bagi anggota badan yang walaupun anggota badan kerap kali tergerak untuk melakukan sesuatu sebagai respon dari rindu itu sendiri..

Rasanya sulit jua bagiku memandang rindu sebagai sebuah “penyakit”. Namun begitu, tak mudah pula kupandang rindu sebagai reaksi jiwa yang “sehat”. Bagaimana tak kuucap demikian, cobalah engkau rasakan atau bisa jadi detik ini sedang engkau rasakan letupan-letupan rindu yang bergejolak.


>>Percikan Rindu Di Sudut Hati..

Awalnya, rindu mungkin masih tak “liar” dan sedang terlelap nyenyak di sudut ruang hati. Seiring detik berdetak, pemiliknya sering tak tersadar, angin sejuk dari manakah yang jadikan rindu itu terbangun. Tak pula diketahui, mimpi manakah yang jadikan rindu itu tiba-tiba terjaga.

Seiring waktu pula, rindu semakin bereaksi dan “mengamuk” serta berkecamuk hebat di hati. Pada saat yang sama, terbisiklah telinga untuk segera mendengar hal-hal yang rindu inginkan. Tersapalah lidah untuk berbicara. Terayulah mata untuk memandang. Tergodalah jiwa tuk rasakan hal-hal yang ingin dikenang.


>>Obati Rindu. .

Saat-saat seperti itulah kukatakan rindu sebagai “penyakit”. Walau tak bersifat medis, ia pula terkadang timbulkan gejala-gejala lain yang menyebabkan si empunya terbaring sakit. Karena itu, sudah seharusnya rindu itu diobati. Dan hanya perjumpaanlah yang menjadi penawar sekaligus obat utamanya.


Siapa yang Harus Dicerahkan?

Seorang remaja bertanya kepada Ahmad Dahlan. Apa itu agama? Dahlan terdiam sejenak. Ia lantas memainkan biola yang ada di tangannya. Tentu semua orang disekitar Dahlan, menjadi heran dan saling beradu pandang. “Apa maksudnya?,” begitu pikir mereka. Sejenak kemudian, mereka pun hanyut dalam alunan melodi indah yang dimainkan Dahlan. Sang ustad pun terlihat memainkan sepenuh jiwa.
“Bagaimana?,” tanya Dahlan kemudian. “Indah, damai, seperti semua masalah hilang,” jawab para remaja bergantian. “Ya, itulah agama,” jelas Dahlan. “Agama itu seperti musik, tenang, menyenangkan, dan menyegarkan hati,” tambahnya.
Lalu, Dahlan meminta salah seorang remaja memainkan biolanya. Hasilnya, bukan menghasilkan melodi indah, malah bunyinya memekakkan telinga. Bahkan, menjadi bahan tertawaan. “Itulah agama,” ujar Dahlan. Menurutnya, agama jika tidak dipahami dan dipelajari sungguh-sungguh, bisa menjadi hal yang merusak, memecah belah, dan menakutkan.
Inilah refleksi yang terdalam dari film Sang Pencerah, karya Hanung Bramantyo. Film ini sebenarnya bercerita tentang jalan hidup Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Namun, melalui dialog-dialognya, film Sang Pencerah mengajak kita, untuk kembali merenungkan kehidupan dan kerukunan beragama kita saat ini.
Belakangan, kehidupan beragama di Indonesia kerap digoyang perpecahan. Kasus penusukan pendeta HKBP di Ciketing, Bekasi adalah ujian terbaru. Pembakaran dan perusakan tempat ibadah jemaat Ahmadiyah, dan pertikaian SARA di Ambon, Maluku untuk menyebut beberapa yang lainnya.
Dewan Antar-agama Indonesia (Inter Religius Council/IRC) menengarai masih ada ketegangan dan potensi konflik dalam hubungan antar-umat beragama di Indonesia. Ketegangan dan potensi konflik tersebut antara lain berbentuk kekerasan, pemaksaan kehendak, perusakan tempat ibadah, dan lainnya.
IRC  juga berencana akan menyelenggarakan forum dialog dan silaturahmi nasional para tokoh umat beragama di Indonesia, akhir tahun ini.
Alunan yang memekakkan telinga
Film Sang Pencerah menunjukkan bagaimana agama bisa jadi alunan suara yang memekakkan telinga, dari biola yang dimainkan seorang yang tidak terlatih. Masyarakat Kauman, Yogyakarta di jaman Dahlan sibuk dengan beragam sesajen, sampai lupa substansi Islam yang sesungguhnya. Kultus individu terhadap Sultan sebagai wakil Tuhan di bumi juga mengaburkan ajaran Islam itu sendiri. Ironisnya, penyimpangan ini dilanggengkan para pemuka agama setempat, yang diantaranya pernah menuntut ilmu hingga ke Mekkah.
Sebaliknya, Ahmad Dahlan dianggap sebagai Kyai palsu karena membawa pemikiran pembaharu Islam. Pada kesempatan pertama dia menjadi khatib masjid, dia menyindir kebiasaan penduduk kampung Kauman dalam berdoa. Menurut Dahlan, dalam berdoa itu yang dibutuhkan cuma ikhlas dan sabar. Tidak lagi diperlukan Kyai, ketip, atau sesajen. Sontak, jamaah yang hadir kaget. Termasuk Sultan.
Dahlan juga  merubah arah kiblat masjid, yang selama ini lurus ke barat dan sejajar dengan keraton yang dianggap sebagai pancar bumi. Kompas dan peta bumi jadi bekal untuk mengukur akurasi arah kiblat ke Mekkah, tidak dipercaya. Lantaran, kompas dan peta itu buatan Belanda yang dicap sebagai kaum kafir.
Suami Siti Walidah juga dianggap menyebarkan agama baru, karena menggunakan biola dalam mengajar, meja dan kursi layaknya sekolah Belanda yang disebut sekolah kafir, serta ikut organisasi Budi Utomo dengan berpakaian ala priyayi, yakni bersandal, bersepatu dan berminyak wangi.
Akibatnya, langgar kidul, warisan sang Ayah dirobohkan warga. Langgar itu dianggap sebagai pusat penyesatan dan penyebaran agama baru. Dahlan sendiri sempat putus asa, dan pergi meninggalkan kampung halamannya. Namun Dahlan mengurungkan niatnya, setelah mendapat pencerahan dan bantuan dari kerabatnya.

last snow in Tokyo

By your side, I look at my watch
as you wait for the train


Unseasonable snow is falling
"This is the last snow I’ll see in Tokyo",
you murmur forlornly


I know it’s time for the traces of snow to fall
after the season we spent playing too much


Now spring is coming and you’ve become pretty
You’ve become much prettier than last year

You’ve put your face in the window of the moving train
You look like you want to say something


I was afraid of your lips moving to say goodbye
so I looked down


proses

do what your love..............................................


love what you do.........................................